Lampung Selatan – Di banyak kota dan desa, kita sering mengeluh soal parkir. Tarif tak jelas, petugas tak berseragam, hingga pungli yang berkedok retribusi. Tapi jarang kita melihat persoalan ini sebagai cermin dari lemahnya pengelolaan ruang publik—dan lemahnya partisipasi warga dalam mengaturnya.
Padahal, ruang parkir adalah bagian dari ruang hidup kita. Bukan sekadar tempat menitipkan kendaraan, tapi juga cerminan dari tata kelola, etika, dan solidaritas sosial. Di sinilah pentingnya keterlibatan masyarakat: bukan sebagai objek pungutan, melainkan subjek pengelolaan.
Beberapa daerah sudah mulai belajar dari pendekatan ini. Di Garut, pengelola parkir membentuk paguyuban. Di Bengkulu, warga dilibatkan dalam pengelolaan parkir pasar tradisional. Di Tegal, sistem rotasi pengelola mencegah lahirnya kartel. Semua ini menunjukkan satu hal: ketika warga dilibatkan secara adil dan transparan, hasilnya lebih tertib, lebih jujur, dan lebih manusiawi.
Kita juga punya pijakan hukum. Undang-Undang Desa memberi ruang bagi masyarakat untuk mengelola potensi lokal, termasuk lahan parkir. Sayangnya, banyak desa masih menyerahkan pengelolaan parkir pada pihak luar, kadang hanya karena “sudah biasa begitu”.
Mengapa tidak kita balik logika ini? Justru karena warga setempat yang tahu medan, tahu musim pasar, tahu etika sosial, merekalah yang paling tepat mengelola. Tentu bukan tanpa sistem. Harus ada musyawarah, pembentukan komunitas, pelatihan, hingga pelaporan digital. Tapi itu semua bisa dilakukan. Negara tinggal mendukung, bukan mendikte.
Kita hidup di masa di mana demokrasi ekonomi menjadi harapan. Saatnya ruang-ruang kecil seperti tempat parkir menjadi ladang praktik kebersamaan. Tak perlu menunggu proyek besar. Cukup dimulai dari niat baik, tata kelola sederhana, dan kepercayaan pada warga sendiri.
Karena parkir bukan sekadar tempat. Ia adalah ruang kita belajar tertib, jujur, dan gotong royong.
Oleh: Dedi Miryanto, S.E., M.Si.
ASN Kabupaten Lampung Selatan | Pengurus FKBN Lampung | Purna Pramuka Jambore Dunia 91