Malang, memoterkini – Keputusan bersejarah Pengadilan Negeri (PN) Kepanjen yang mengalihkan penahanan Syaiful Adhim, pemilik PT Pioneer CNC Indonesia, menjadi tahanan kota menuai sorotan publik. Namun, tim kuasa hukum menegaskan, langkah majelis hakim bukan hanya sah secara hukum, melainkan juga menjadi tameng keadilan dari upaya kriminalisasi yang dilakukan dengan motif persaingan bisnis.
Kuasa hukum Syaiful, Bambang Suherwono, SH, M.Hum, menyampaikan pernyataan tegas membongkar tuduhan yang dilayangkan mantan karyawan, Fredy Nasution, yang disebutnya menjadikan hukum pidana sebagai alat pemerasan.
“Klien kami, pemilik sah PT Pioneer CNC Indonesia, telah dikriminalisasi. Keputusan majelis hakim pada 20 Agustus 2025 untuk mengalihkan penahanan menjadi tahanan kota adalah bentuk kembalinya keadilan,” tegas Bambang.
Bambang menekankan, keputusan tersebut berlandaskan Pasal 31 KUHAP serta Pasal 21 KUHAP, yang menegaskan penahanan bukan hanya soal ancaman hukuman, tetapi juga mempertimbangkan kondisi subjektif, kesehatan, serta potensi risiko dari terdakwa.
Syaiful diketahui menderita penyakit paru-paru (TBC), ISPA, dan sakit lambung akut. Namun, kondisi serius ini justru diabaikan penyidik dan jaksa. “Saat ditahan di Polres Malang, pemeriksaan hanya sebatas tensi dan berat badan. Tidak ada pemeriksaan penyakit dalam yang membutuhkan penanganan khusus,” jelas Bambang.
Terkait keberangkatan Syaiful ke China yang dituding sebagai bentuk mangkir, Bambang menegaskan hal itu resmi dan sah. “Klien kami pergi ke China atas undangan vendor untuk peningkatan teknologi CNC. Surat pemberitahuan penundaan pelimpahan perkara bahkan sudah disampaikan kepada penyidik,” ujarnya.
Bambang menilai klaim Fredy sebagai pemilik bersama Pioneer CNC hanya dengan modal Rp5 juta adalah tidak rasional. “Fakta sebenarnya, laporan pidana ini adalah alat pemerasan. Fredy menuntut setengah aset perusahaan dengan cara mengkriminalisasi klien kami,” ungkapnya.
Ia bahkan merujuk surat resmi Irwasda Polda Jatim Nomor B/6562/VII/WAS.24/2024/Itwasda tanggal 31 Juli 2024, yang menyatakan tidak ditemukan bukti hasil produksi dijual dengan merek Pioneer CNC Indonesia. “Kalau bukti penjualan dengan merek itu saja tidak ada, bagaimana bisa disebut tindak pidana?” tanya Bambang.
Lebih jauh, Bambang menyoroti dipaksakannya perkara ini hingga dinyatakan P-21. “Yang patut dipertanyakan bukan kenapa hakim memberi penangguhan, tetapi kenapa penyidik dan jaksa memaksakan perkara ini berjalan, seolah-olah mengikuti pesanan pelapor,” katanya.
Menurut Bambang, penangguhan penahanan bukanlah kelemahan, tetapi justru wujud keadilan yang menjunjung asas praduga tak bersalah. “UU jelas membolehkan majelis hakim mengalihkan penahanan dengan pertimbangan tertentu. Itu bukan keberpihakan, melainkan penegakan hukum yang bermartabat,” pungkasnya.
Keputusan PN Kepanjen ini menjadi bukti bahwa hukum Indonesia masih mampu berdiri tegak melawan kriminalisasi, menjadikan pengadilan sebagai benteng terakhir keadilan.